Malaysia Desak Meta untuk Kendalikan Konten Online Ilegal atau Tak Ada Lagi – Pemerintah Malaysia mengeluarkan peringatan keras kepada raksasa teknologi Meta Platforms Inc., perusahaan induk dari Facebook, Instagram, dan WhatsApp, agar segera mengambil langkah tegas dalam mengendalikan penyebaran konten ilegal dan berbahaya di platformnya. Dalam pernyataan resmi dahlia77 yang disampaikan pada akhir Oktober 2025, otoritas Malaysia menegaskan bahwa jika Meta gagal memenuhi tuntutan regulasi lokal, maka izin operasional perusahaan di negara tersebut dapat dicabut.
Langkah tegas ini mencerminkan semakin meningkatnya ketegangan antara pemerintah dan perusahaan media sosial global, terutama dalam hal penegakan hukum digital dan perlindungan terhadap masyarakat dari konten yang dianggap ekstrem, menyesatkan, atau merusak tatanan sosial.
Pemerintah Malaysia Ambil Sikap Tegas
Kementerian Komunikasi Malaysia, melalui Menteri Komunikasi Fahmi Fadzil, menegaskan bahwa pemerintah telah memberikan cukup waktu kepada Meta untuk memperbaiki sistem moderasi konten di platformnya. Namun, menurutnya, upaya yang dilakukan hingga kini masih jauh dari memadai.
“Kami tidak akan menoleransi perusahaan teknologi yang mengabaikan undang-undang nasional dan membiarkan penyebaran kebencian, penipuan, serta informasi palsu di dunia maya,” ujar Fahmi dalam konferensi pers di Kuala Lumpur.
Ia menambahkan bahwa pemerintah telah mengirimkan beberapa surat resmi peringatan kepada Meta dan perusahaan teknologi besar lainnya, menuntut kerja sama yang lebih konkret dalam memblokir konten ilegal — mulai dari penipuan daring (scam), perjudian online, ujaran kebencian, hingga penyebaran ideologi ekstremis.
Menurut laporan internal Kementerian, sebagian besar pelanggaran berasal dari iklan penipuan dan konten perjudian ilegal yang menggunakan platform Meta untuk menjangkau masyarakat Malaysia. Banyak di antaranya bahkan menargetkan kelompok rentan seperti lansia dan remaja.
Ancaman Pemblokiran Jika Tidak Ada Perbaikan
Pemerintah Malaysia menyatakan akan mempertimbangkan langkah ekstrem berupa pembatasan akses atau bahkan pemblokiran layanan Meta jika perusahaan tersebut tidak menunjukkan komitmen nyata dalam waktu dekat.
Langkah ini bukan tanpa preseden. Pada tahun-tahun sebelumnya, pemerintah negara lain seperti India dan Indonesia juga sempat menekan perusahaan media sosial global agar mematuhi hukum lokal terkait moderasi konten dan transparansi algoritma.
“Malaysia tidak menentang kebebasan berekspresi, tetapi kami menolak penyalahgunaannya. Kebebasan harus berjalan seiring dengan tanggung jawab,” tegas Fahmi.
Selain Meta, pemerintah juga memantau TikTok, X (Twitter), dan Telegram, yang dianggap memiliki potensi penyalahgunaan serupa. Namun, Meta menjadi sorotan utama karena skala pengaruh dan jangkauannya yang luar biasa besar di Malaysia, di mana lebih dari 25 juta penduduk aktif menggunakan Facebook setiap bulannya.
Meta di Persimpangan Jalan
Meta sendiri belum memberikan tanggapan resmi terkait ultimatum pemerintah Malaysia, tetapi dalam beberapa pernyataan sebelumnya, perusahaan menyatakan berkomitmen untuk meningkatkan teknologi moderasi konten berbasis kecerdasan buatan (AI) dan bekerja sama dengan lembaga lokal untuk menangani laporan pelanggaran.
Namun, para pengamat menilai langkah tersebut masih belum cukup. Sistem otomatis Meta sering kali gagal mengenali konten berbahasa lokal, seperti Bahasa Melayu atau dialek campuran, yang digunakan dalam penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.
Seorang pakar kebijakan digital dari Universiti Malaya menjelaskan, “Masalah utama adalah bahwa algoritma Meta tidak dirancang untuk memahami konteks sosial dan budaya lokal. Akibatnya, banyak konten berbahaya yang lolos dari penyaringan.”
Selain masalah teknis, Meta juga menghadapi dilema global: antara menegakkan kebebasan berbicara yang menjadi nilai dasar perusahaan, dan memenuhi tuntutan pemerintah yang ingin memperketat kontrol terhadap dunia digital.
Dampak bagi Ekosistem Digital Malaysia
Jika pemerintah benar-benar mengambil langkah untuk membatasi operasi Meta, dampaknya bisa sangat besar bagi masyarakat dan dunia bisnis Malaysia. Ribuan perusahaan kecil dan menengah (UKM) di negara itu bergantung pada Facebook dan Instagram sebagai sarana utama pemasaran dan komunikasi dengan pelanggan.
Namun, pemerintah menegaskan bahwa perlindungan masyarakat lebih penting daripada kepentingan komersial. Pemerintah Malaysia bahkan sedang mengembangkan platform alternatif lokal untuk mengurangi ketergantungan pada raksasa teknologi asing.
Langkah ini juga dianggap sejalan dengan kebijakan digital nasional Malaysia yang bertujuan untuk membangun kedaulatan siber dan memastikan bahwa seluruh data pengguna disimpan serta diatur berdasarkan hukum Malaysia.
Tantangan di Era Kebebasan Digital
Perdebatan antara pemerintah dan perusahaan teknologi seperti Meta sebenarnya mencerminkan tantangan global dalam menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan keamanan digital. Di satu sisi, media sosial memberi ruang terbuka bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat; namun di sisi lain, platform ini juga menjadi tempat berkembang biaknya disinformasi, kejahatan siber, dan eksploitasi digital.
Malaysia, seperti banyak negara lain di Asia Tenggara, berupaya menemukan titik tengah antara kebebasan dan pengawasan. Pemerintah tidak ingin mengekang kreativitas pengguna, tetapi juga tidak ingin melihat platform digital digunakan sebagai alat untuk merusak keharmonisan sosial.
Menuju Regulasi yang Lebih Ketat
Sebagai tindak lanjut dari peringatan ini, Kementerian Komunikasi Malaysia dilaporkan sedang menyiapkan rancangan undang-undang baru tentang tanggung jawab platform digital (Digital Platform Accountability Bill). Undang-undang ini akan mewajibkan perusahaan teknologi global yang beroperasi di Malaysia untuk:
-
Memiliki perwakilan hukum resmi di dalam negeri.
-
Menangani laporan konten ilegal dalam waktu maksimal 24 jam.
-
Memberikan akses transparan kepada regulator terhadap sistem algoritma dan iklan digital.
-
Menyimpan sebagian data pengguna di server lokal.
Jika disahkan, aturan tersebut akan menempatkan Malaysia di antara negara-negara dengan regulasi media sosial paling ketat di Asia Tenggara, sejajar dengan Singapura dan Indonesia.
Penutup
Desakan keras pemerintah Malaysia terhadap Meta menunjukkan bahwa era kebebasan absolut di media sosial mungkin sudah berakhir. Di masa depan, raksasa teknologi global tak bisa lagi berlindung di balik alasan “netralitas platform”. Negara-negara kini menuntut tanggung jawab nyata dalam menjaga keamanan warganya di ruang digital.
Bagi Meta, peringatan ini adalah sinyal bahwa adaptasi terhadap peraturan lokal bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Jika tidak, Malaysia mungkin menjadi contoh pertama dari gelombang negara-negara yang siap berkata: “Kendalikan konten ilegal, atau angkat kaki.