Alexa slot Alexa99 alexa99 kiano88 kiano 88 alexa slot

Anyeq Lian, Pengawal Denting Sape Dayak Kenyah

Anyeq Lian, Pengawal Denting Sape Dayak Kenyah

Anyeq Lian, Pengawal Denting Sape Dayak Kenyah- Sejak baya 10 tahun, Anyeq Lian jatuh cinta pada sape. menjaga cinta sepanjang 6 dasawarsa.

Denting sape yang dipetik Anyeq Lian mengalun bagus. Suaranya halus serta mendinginkan jiwa. Kombinasi gali77 dengan suara sape dengan celoteh kukila dari nada kerangka bawa pemirsa larut seolah menjelajahi jantung hutan Kalimantan.

Atmosfer Pentas Ahli 2025 di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, Sabtu( 12 atau 7 atau 2025) malam, juga sepi sedetik. Para pemirsa mencari kehadiran si pemetik sape. Tetapi, mereka tidak menciptakannya. Cuma pancaran lampu cahaya mendobrak kemalaman yang nampak di atas pentas.

Anyeq malah timbul dari kemeriahan pemirsa. Badannya berbalut talun, busana khas Dayak berbahan kulit kusen. Kepalanya ditutupi bluko yang dirangkai dari rotan. 4 lembar bulu akhir kukila tebun masuk di atasnya.

Ayah 3 anak itu berjalan ayal mengarah pentas. Sesekali beliau memejamkan mata, meresapi suara sape yang beliau mainkan. Pengalaman 60 tahun memainkan sape, buatnya sanggup memetik perlengkapan nada itu tanpa melihatnya.

Malam itu, Anyeq tampak bersama ahli seni adat- istiadat yang lain asal Tenggarong( Kalimantan Timur), Gayo( Aceh), serta Sumenep( Madura, Jawa Timur). Pentas Ahli yang diselenggarakan semenjak 2023, diselenggarakan oleh Yayasan Bali Purnati bertugas serupa dengan Departemen Kultur.

Anyeq berkata, sape bukan perlengkapan nada lazim. Instrumen berbahan kusen itu sudah berpadu dengan denyut kehidupan warga Dayak, paling utama dalam berkesenian serta aplikasi kultur yang lain.

” Sape sudah jadi bukti diri kultur Dayak Kenyah. Perlengkapan nada ini semacam nyawa dalam keelokan adat- istiadat kita,” ucapnya.

Nada sape amat dinantikan dalam tiap acara. Apalagi, di era dahulu, bisa jadi ini jadi salah satunya hiburan. Jika tidak terdapat suara sape, atmosfer amat sepi. Seremoni adat ataupun acara juga seolah tidak terdapat energinya.

Anyeq mengatakan, sape umumnya dimainkan dalam seremoni adat, pementasan seni, serta bermacam acara. Dalam warga Dayak Kenyah, perlengkapan nada ini kerap digunakan buat mendampingi tari tunggal Kancet Lasan.

” Nada sape amat dinantikan dalam tiap acara. Apalagi, di era dahulu, bisa jadi ini jadi salah satunya hiburan. Jika tidak terdapat suara sape, atmosfer amat sepi. Seremoni adat ataupun acara juga seolah tidak terdapat energinya,” jelasnya.

Ketaatan memainkan sape membawakan Anyeq menjelajahi beberapa wilayah di Kalimantan. Beliau juga berteman serta silih berlatih dengan artis yang lain.

Pentas Ahli membuka jalur untuk Anyeq buat tampak di Jakarta, kota yang belum sempat ia datangi. Terdapat sedikit rasa gugup. Tetapi, kebesarhatian buat menunjukkan sape di hadapan warga besar menaklukkan perasaan itu.

” Aku suka sebab diapresiasi dalam kegiatan ini. Tetapi, yang lebih membanggakan, nada sape dapat didengar banyak orang serta diharapkan banyak orang terus menjadi hirau buat melestarikannya,” ucapnya.

Sape sudah jadi bukti diri kultur Dayak Kenyah. Perlengkapan nada ini semacam nyawa dalam keelokan adat- istiadat kita.

Nyaris tiap kaum Dayak di Kalimantan mempunyai sape. Perbedaannya terdapat pada corak riasan ataupun pahatan yang menghiasai tubuh perlengkapan nada petik itu. Wujudnya pula istimewa dengan bentuk tubuh yang langsing serta leher yang jauh.

Nada sape lalu bertumbuh bersamaan perkembangan teknologi. Dikala ini, beberapa artis pula membuat sape listrik alhasil bisa digabungkan dengan instrumen nada yang lain.

Penerus si ayah

Anyeq memahami sape dekat 50 tahun kemudian. Dikala itu usianya terkini 10 tahun. Semacam kanak- kanak seusianya, beliau senang main di dekat rumahnya.

Salah satunya perihal yang dapat alihkan perhatiannya dari main bersama sahabatnya merupakan suara sape yang dimainkan bapaknya. Beliau langsung jatuh batin mengikuti suaranya.

” Nadanya empuk serta halus. Terdapat perasaan hening serta rukun dikala mencermatinya. Jika aku tidak mencermatinya berhari- hari, terdapat perasaan kangen,” ucapnya.

Papa Anyeq bertugas selaku orang tani. Tetapi, si papa pula ahli main serta membuat sape. Beliau juga kerap dipanggil buat tampak dalam bermacam seremoni adat serta acara di beberapa wilayah.

Bapaknya tampak dari desa ke desa. Anyeq juga senang mengikutinya. Beliau kerap menanya dalam batin, kenapa orang mau beramai- ramai terkumpul cuma buat mencermati suara sape.

” Sebab kerap menjajaki papa, aku jadi terus menjadi menggemari sape. Suaranya pula semacam membagikan tenaga pada orang yang mendengarkannya, paling utama dikala berajojing,” tuturnya.

Kesukaan Anyeq pada sape lalu berkembang. Berasal dari menggemari suaranya, berlatih membawakannya, kemudian mulai berupaya buat buatnya. Prosesnya tidak senantiasa lembut, namun beliau lalu berlatih, tercantum dari kekalahan.

” Aku berupaya untuk sape dikala berumur 15 tahun. Memanglah tidak langsung jadi serta suaranya baik. Tetapi, dari sana malah aku banyak berlatih. Awal mulanya digunakan buat golongan sendiri dahulu,” ucapnya.

Anyeq mengatakan, mutu kusen amat memastikan dalam pembuatan sape. Bagi ia, kusen arau, kapur, serta meranti yang sangat bagus buat membuat perlengkapan nada adat- istiadat itu. Pembuatannya dapat menyantap durasi satu pekan.

” Yang sangat susah merupakan membuat lubangnya. Prosesnya dapat 3 hari, apalagi lebih. Belum lagi jika pemesannya memiliki permohonan pahatan yang spesial,” ucapnya.

Tantangan pelestarian

Anyeq mengatakan, membuat sape ialah salah satu aspek berarti dalam melestarikan keelokan adat- istiadat itu. Karena, bila kreator sape terus menjadi sedikit, salah satu bagian dalam seni adat- istiadat itu rawan musnah.

” Jika perlengkapan musiknya tidak terdapat, gimana angkatan belia ingin berlatih. Jika mereka mulai senang serta ingin mempelajarinya, lambat- laun hendak tergerak buat melestarikannya,” tuturnya.

Tantangan lain dalam melestarikan sape merupakan sebab materi pembuatannya terus menjadi terbatas. Kusen arau yang ditaksir salah satu materi sangat baik bertambah susah diterima.

” Saat ini kusen arau telah tidak sering di hutan sebab banyak ditebang, ditukar dengan perkebunan. Perihal ini wajib dicermati buat mensupport pelanggengan sape,” tegasnya.

Anyeq mengetahui, angkatan belia ialah akhir cengkal pelanggengan seni adat- istiadat. Akibat adat asing tidak bisa jadi dibendung di tengah pesatnya laju teknologi data. Oleh karena itu, kesukaan kepada adat bangsa harus ditumbuhkan semenjak dini.

Semenjak 2014, Anyeq mendirikan bengkel seni seni di rumahnya. Beliau sendiri yang membimbing di bengkel seni itu. Muridnya tiba serta berangkat. Sering- kali terdapat yang bertahan sampai 2 tahun, tetapi terdapat pula yang cuma sebagian bulan.

Tujuan aku bukan buat menghasilkan mereka seluruh jadi artis sape. Tetapi, gimana meningkatkan kesukaan kepada perlengkapan nada ini. Dengan kesukaan itu, di mana juga mereka terletak hendak tergerak buat melestarikannya.

Beliau tidak menyangka usahanya itu percuma. Karena, beberapa anak didik di bengkel seni itu merupakan siswa. Jadi, kala mereka meneruskan pembelajaran ke kota lain, mereka tidak lagi berlatih main sape di bengkel seni itu.

” Tujuan aku bukan buat menghasilkan mereka seluruh jadi artis sape. Tetapi, gimana meningkatkan kesukaan kepada perlengkapan nada ini. Dengan kesukaan itu, di mana juga mereka terletak hendak tergerak buat melestarikannya,” ucapnya.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *