Peninggalan Bung Karno serta Bimbang Kota Kini

Peninggalan Bung Karno serta Bimbang Kota Kini

Peninggalan Bung Karno serta Bimbang Kota Kini – Dalam pemikiran Bung Karno: ruang bukan entitas adil, melainkan area pertarungan.

Juni merupakan bulan eksklusif. Di bulan ini kita memeringati Hari Lahir Pancasila serta hari kelahiran Bung Karno, los303 figur yang membuat alas bukti diri serta arah bangsa. Ini bukan semata- mata formalitas, melainkan peluang buat menghidupkan balik gagasan- gagasan yang visioner hal bukti diri nasional serta visi kebangsaan—dalam bentuk arsitektur serta aturan ruang kota.

Pertanyaannya, seberapa jauh peninggalan itu sedang hidup dalam pembangunan kota sampai hari ini?

Buah pikiran Bung Karno Mengenai arsitektur serta pemograman kota merupakan pandangan akar yang kerap kali diabaikan dalam risalah pembangunan. Untuk Bung Karno, arsitektur tidaklah semata- mata seni membuat, namun pula perlengkapan politik—simbol dari pandangan hidup serta biasa buat mengantarkan dan menguatkan nilai- nilai kebangsaan.

Dalam pemikirannya: ruang bukan entitas adil, melainkan area pertarungan buah pikiran serta ikon kewenangan. Di kursi Technische Hoogeschool te Bandoeng, Bung Karno tidak cuma berlatih jadi insinyur. Beliau pula berlatih memandang kota selaku pentas kebangsaan, serta arsitektur selaku bahasa yang dapat merumuskan asal usul, mengukuhkan bukti diri, sampai angan- angan era depan.

Arsitektur selaku instrumen ideologis

Asal usul meyakinkan kalau arsitektur senantiasa terikat dengan politik. Arsitektur tidak semata pertanyaan bentuk serta khasiat, namun pula metode kewenangan berdialog. Bagi Abidin Kusno( 2012), ruang kota yang dibangun lewat arsitektur senantiasa sarat makna—ia memantulkan kedekatan daya serta kebutuhan ideologis yang berjalan dalam warga.

Pandangan itu searah dengan Bernard Tschumi, arsitek sekalian pemikir asal Perancis, yang melaporkan:” Tidak terdapat arsitektur tanpa pandangan hidup”( Event- Cities, 1994). Kota, dalam kondisi ini, merupakan ruang tempat kewenangan direalisasikan serta pandangan hidup diterjemahkan dalam wujud raga.

Monumen, tugu, kastel, sampai jalur aturan tidaklah semata- mata prasarana. Itu seluruh merupakan ikon yang mengantarkan catatan mengenai siapa yang berdaulat, apa yang dikira berarti, serta gimana warga dimohon menguasai asal usul dan era depan mereka.

Kedatangan Langgar Istiqlal serta Gereja Basilika yang berdiri berdampingan menjelma selaku simbol keterbukaan antarumat berkeyakinan di Indonesia—yang melukiskan kalau di jantung bunda kota, keseimbangan itu bukan cuma angan- angan, melainkan prinsip yang dibentuk dengan pemahaman penuh.

Bung Karno menerangkan:” Let them stand facing each other, in harmony. That is Indonesia.” Arsitektur juga dipakai buat membuat keterbukaan serta bukti diri kebangsaan yang inklusif.

Cetak biru menara api serta antagonisme sosial

Pembangunan kota, bagi Bung Karno, merupakan alat buat menerangkan balik bukti diri serta angan- angan kebebasan. Dalam ceramah pada awal Asian Permainan 1962, Bung Karno mengatakan:” Marilah kita peruntukan Jakarta selaku kota menara api yang menyinari bumi, kalau Indonesia sudah bangun.”

Antusias kebangsaan itu direalisasikan dalam serangkaian cetak biru monumental—mulai dari Stadion Penting Gairah Bung Karno, Tugu Nasional, Langgar Istiqlal, sampai pembangunan koridor Sudirman- Thamrin, Lingkaran HI, serta Simpang Semanggi. Itu bukan cuma cetak biru raga, melainkan metode Indonesia membuktikan asli dirinya serta membuat impian hendak era depan yang lebih bagus.

Tetapi, di balik bercelak cetak biru menara api itu, tidak seluruh masyarakat menikmati khasiat yang serupa. Pembangunan area Senayan pada 1959- 1960, misalnya, menggusur lebih dari 60. 000 warga—Lance Castles, A Note on the Modernist Vision, 1966. Kota dibentuk mewah, namun masyarakat kecil terpinggirkan. Ikon perkembangan itu tiba dengan dedikasi golongan rentan.

Bila masa Bung Karno memakai arsitektur monumental selaku perwujudan antusias kebangsaan, pemindahan Bunda Kota Nusantara( IKN) ke Kalimantan pula mengangkat simbolisme seragam. Selaku cetak biru penting, IKN dipelopori buat memantulkan arah pembangunan Indonesia ke depan, dengan mengangkat rancangan kota hijau, pintar, serta berkepanjangan yang searah dengan skedul garis besar.

Tetapi, antusias itu didatangkan lewat pendekatan yang berlainan. Pembangunan IKN lebih mementingkan format teknokratis serta investor- sentris, dengan ketetapan yang mengarah top- down. Kesertaan khalayak juga terbatas, sedangkan di kekuasaan kebutuhan golongan atas serta pemodalan menghasilkan jarak antara visi yang dipelopori serta keinginan masyarakat yang terdampak.

Keduanya, bagus itu cetak biru menara api masa Bung Karno ataupun IKN, hari ini, bersama muat bagian eksklusivitas. Tetapi, perbedaannya terdapat pada pendekatan. Sedangkan kondisi hari ini menuntut arsitektur serta pembangunan kota tidak cuma jadi representasi negeri, melainkan pula ruang hidup yang seimbang, berkepanjangan, serta demokratis. Pembangunan tidak lumayan cuma memercayakan simbolisme, namun pula wajib menanggapi tantangan ekologis, sosial, serta kelangsungan ruang untuk seluruh masyarakat.

Bimbang kesenjangan serta komersialisasi

Peninggalan arsitektural Bung Karno memantulkan antusias patriotisme, pascakolonialisme, serta keyakinan kepada perkembangan. Bung Karno sanggup menggabungkan ala modernisme global dengan perasaan rasa—khas lokal. Walaupun begitu, peninggalan ini pula menaruh konflik antara idealisme serta kenyataan.

Hari ini, tantangan kota sudah beralih. Kita tidak cuma mengalami kekurangan prasarana, namun pula darurat ekologis serta kesenjangan ruang. Kota- kota besar berkembang mewah, tetapi lemah: dipadati tower cermin, namun miskin ruang khalayak. Informasi informasi Bappenas( 2023), Indonesia hadapi kekurangan lebih dari 12 juta bagian rumah pantas mendiami.

Komersialisasi ruang bertambah padat. Cetak biru reklamasi, superblok eksklusif, sampai perluasan kediaman golongan atas mengusir masyarakat kecil dari pusat kota. Arsitektur yang dahulu jadi bahasa kebangsaan malah saat ini mempertegas lembah ketimpangan—maka wajah kota kehabisan arti kebangsaan yang sempat diperjuangkan.

Membuat era depan inklusif

Persoalan pokok hari ini: siapa yang berkuasa memastikan wajah kota? Apakah arsitektur hendak lalu jadi perlengkapan kewenangan elite—atau bisa beralih bentuk jadi alat kesamarataan sosial?

Antusias Bung Karno membuat politik ruang selaku ikon kesamarataan serta kebangsaan senantiasa hidup, walaupun butuh diterjemahkan balik supaya cocok dengan kenyataan hari ini. Karena, kota wajib jadi ruang hidup bersama yang memantulkan keanekaan, kesamarataan, serta kesertaan masyarakat. Konsep monumental senantiasa berarti, namun tidak bisa meniadakan hak- hak bawah masyarakat.

Pemograman kota hari ini wajib berplatform dialog—bukan keputusan. Masyarakat wajib diposisikan selaku pelakon penting pembangunan. Cetak biru urban wajib berpadu dengan keinginan sosial serta prinsip ekologis. Teknologi serta inovasi butuh ditunjukan buat menanggapi tantangan era depan dengan cara inklusif serta berkepanjangan.

Begitu juga Bung Karno sudah menerangkan:” Peperangan kita belum berakhir, sepanjang sedang terdapat kesenjangan serta ketidakadilan.” Ruang merupakan kaca pandangan hidup, namun pula bisa jadi alat perlawanan.

Tanggung jawab kita tidak cuma menjaga peninggalan asal usul, namun pula mengonsep era depan kota yang dibentuk selaku ruang peperangan beramai- ramai, bukan pentas kewenangan, serta bisnis. Kota era depan wajib jadi ruang yang seimbang, berkepanjangan, serta manusiawi—tempat di mana seluruh masyarakat merasa mempunyai serta dilindungi.

Bertepatan pada 6 Juni jadi momen refleksi untuk bangsa Indonesia. Hari lahir Kepala negara awal Republik Indonesia, Soekarno—yang bersahabat dipanggil Bung Karno—kembali diperingati dengan bermacam metode. Dari hambur bunga di makamnya di Blitar sampai dialog kebangsaan di kampus- kampus, julukan Bung Karno senantiasa menggema. Tetapi di tengah peringatan itu, suatu persoalan besar mengemuka: gimana kodrat peninggalan Bung Karno di tengah geliat pembangunan kota- kota modern Indonesia?

Bung Karno bukan cuma proklamator serta orator ahli. Beliau pula seseorang arsitek yang mempunyai visi besar kepada wajah Indonesia, spesialnya bunda kota. Di dasar komandonya, Jakarta berganti dari kota kolonial jadi pusat rezim yang bercita rasa patriot serta modern. Tugu Nasional( Monas), Gairah Bung Karno( GBK), dan gedung- gedung rezim yang berdiri kuat sampai saat ini, jadi fakta jelas dari ambisinya membuat bukti diri bangsa.

Tetapi, sehabis lebih dari 6 dasawarsa semenjak proklamasi, serta 5 puluh tahun lebih semenjak kepergiannya, kelihatannya peninggalan raga ataupun ideologis Bung Karno mulai tereleminasi oleh gemuruh pembangunan. Kota- kota besar di Indonesia saat ini berlari mengejar sebutan“ smart city” dengan bergantung pada bentuk kota garis besar, tetapi sering melalaikan nilai- nilai keindonesiaan yang dahulu dijunjung besar oleh Bung Karno.

Visi Kota yang Berkepribadian

Bung Karno beriktikad kalau arsitektur bukan semata- mata hal estetika, namun pula alat politik serta kultural. Dalam bermacam pidatonya, beliau kerap menekankan berartinya membuat kota yang bukan cuma modern, namun pula memantulkan karakter bangsa.” Bangsa yang besar wajib dapat membuat monumentalnya sendiri,” ucapnya pada peresmian Monas tahun 1961.

Peninggalan ini sesungguhnya bukan cuma raga. Rancangan” kota berkarakter” yang beliau membawa memantulkan keberpihakan kepada orang, penyusunan ruang yang seimbang, serta simbolisme kebangsaan yang kokoh. Kota bagi Bung Karno merupakan pentas asal usul bangsa, bukan semata- mata arena komersialisasi.

Tetapi hari ini, banyak kota besar di Indonesia lebih terobsesi pada bangunan pencakar langit, jalur tol layang, serta plaza mewah. Fungsi- fungsi sosial dari ruang kota sering tereleminasi. Ruang terbuka khalayak digusur untuk properti, kampung- kampung kota tergusur oleh cetak biru reklamasi, serta angka historis banyak gedung lama rawan oleh perluasan penanam modal.

Bimbang Pembaharuan: Perkembangan ataupun Kehabisan Asli Diri?

Tidak dapat dibantah, kota- kota besar wajib menyesuaikan diri. Perkembangan masyarakat, keinginan pergerakan, serta titik berat ekonomi garis besar menuntut alih bentuk. Tetapi yang jadi bimbang merupakan kala pembangunan melalaikan kondisi lokal serta peninggalan asal usul. Proyek- proyek yang memercayakan pendekatan“ copy- paste” dari kota garis besar kerap kali menghasilkan ruang yang asing untuk warganya sendiri.

Ahli aturan kota dari Universitas Indonesia, Dokter. Ratri Wibowo, mengatakan kalau urbanisasi Indonesia dikala ini hadapi” darurat bukti diri”.” Banyak kota berkompetisi jadi Singapore ataupun Dubai kecil, tetapi kurang ingat kalau kita memiliki asal usul serta kepribadian tertentu yang dapat jadi daya,” ucapnya dalam dialog khalayak memeringati Hari Lahir Bung Karno.

Ilustrasi sangat jelas merupakan kontroversi sekeliling revitalisasi area memiliki. Di Bandung, misalnya, penyempuraan sebagian gedung berumur memanen kritik sebab dikira menghilangkan angka arsitektural kolonial yang sudah jadi bagian dari bukti diri kota. Di Surabaya, konsep perbaikan area Kampung Cina menemukan antipati sebab dikhawatirkan melenyapkan angka asal usul komunitas Tionghoa setempat.

Peninggalan yang Terabaikan

Walaupun sebagian peninggalan raga Bung Karno sedang berdiri mewah, banyak yang nasibnya memprihatinkan. Gedung- gedung konsep Frederich Silaban serta R. Meter. Soedarsono—arsitek yang bertugas bersama Bung Karno—kini rawan sebab tidak masuk dalam catatan cagar adat ataupun terserang konsep pengembangan kota.

Apalagi di Jakarta sendiri, area GBK yang dahulu jadi ikon gengsi nasional saat ini sering disewakan buat aktivitas menguntungkan yang tidak selaras dengan antusias awal mulanya. Begitu pula dengan Halaman Kecil Indonesia Bagus, yang awal mulanya jadi bayangan pluralisme Nusantara, saat ini lebih diketahui selaku destinasi darmawisata menguntungkan semata.

Peninggalan ideologis Bung Karno—yakni keberpihakan kepada orang kecil, berartinya adat nasional, serta antusias berdikari—pun kerapkali bebas dalam kebijaksanaan aturan ruang kota. Banyak pembangunan dicoba tanpa kesertaan masyarakat. Kampung- kampung tergusur untuk kondominium elit, pasar orang tergantikan oleh pusat perbelanjaan modern, serta ruang khalayak dikomersialisasi.

Refleksi serta Impian Baru

Tetapi tidak seluruh hitam. Di sebagian kota, mulai timbul aksi pangkal rumput yang berupaya menghidupkan balik antusias Bung Karno dalam membuat kota. Di Solo serta Yogyakarta, komunitas artis serta arsitek belia aktif mengupayakan pelanggengan gedung memiliki serta ruang terbuka. Di Makassar, program penyusunan desa nelayan berplatform partisipatif jadi ilustrasi kesuksesan sinergi antara pembangunan serta pelanggengan angka lokal.

Penguasa pusat juga mulai melihat pendekatan inklusif dalam pembangunan bunda kota terkini, Nusantara. Kepala negara Joko Widodo mengatakan kalau konsep Nusantara hendak mencampurkan kemodernan dengan kebajikan lokal. Walaupun sedang dalam langkah dini, cetak biru ini jadi impian kalau nilai- nilai Bung Karno hendak balik hidup dalam wujud kota era depan Indonesia.

Tetapi seluruh ini butuh lebih dari semata- mata formalitas ataupun ikon. Diperlukan kegagahan politik, pemahaman asal usul, serta keinginan buat menaruh manusia—bukan gedung—sebagai pusat pembangunan kota.

Kesimpulan

Peninggalan Bung Karno tidaklah semata- mata gedung, melainkan antusias serta angka dalam membuat kota: berkuasa, berkepribadian, serta berkeadilan. Di tengah bimbang kota saat ini yang dihadapkan pada pembaharuan serta kesejagatan, peninggalan itu malah jadi kompas akhlak buat melindungi bukti diri bangsa. Janganlah hingga kita cuma meluhurkan julukan Bung Karno di tiap peringatan, namun kurang ingat meneladani pikirannya dalam mengonsep era depan kota yang kemanusiaan.

Post Comment