Perasaan Yulia Evina Bhara Aduk Campur
Perasaan Yulia Evina Bhara Campur Campur – Produser film Yulia Evina Bhara jadi salah satu deputi Indonesia di Pergelaran Film Cannes 2025.
Produser film Yulia Evina Bhara ditunjuk jadi badan hakim buat pertandingan film Semaine de la Critique di Pergelaran Film Cannes 2025. Apakah beliau dag- dig- dug? Pasti saja! Tetapi, Yulia berpendirian buat berani saja serta melewati kegugupannya alexa99.
Aku dengan cara perorangan( merasa) macam- macam: sedikit khawatir, suka tentu, besar hati. Kita diseleksi bisa jadi sebab badan memandang terdapat sesuatu perihal dari Indonesia,” tutur Yulia pada rapat pers di Jakarta, Selasa( 6 atau 5 atau 2025).
Ini awal kalinya Yulia jadi badan hakim di Semaine de la Critique ataupun Critic’ s Week. Pada perhelatan Semaine de la Critique 2023, film Tiger Stripes yang dibuat Yulia bersama beberapa negeri dinobatkan selaku film terbaik. Film itu buatan ko- produksi 8 negeri, ialah Indonesia, Singapore, Malaysia, Taiwan, Belanda, Qatar, Jerman, serta Perancis.
Yulia hendak menjuri pertandingan bersama sebagian orang, ialah Daniel Kaluuya( Inggris), Jihane Bougrine( Perancis- Maroko), Josée Deshaies( Kanada- Perancis), serta pimpinan hakim Rodrigo Sorogoyen( Spanyol). Semaine de la Critique berjalan pada 14- 22 Mei 2025, sedangkan Pergelaran Film Cannes pada 13- 24 Mei 2025.
Semaine de la Critique merupakan section buat film maker( yang menempuh) debut awal serta keduanya. Terdapat 7 film jauh serta 10 film pendek( di pertandingan ini),” tutur Yulia.” Kita hendak membagikan award buat 4 jenis: film terbaik, sutradara terbaik, film pendek terbaik, dan bintang film ataupun aktris terbaik.”
Sepanjang menjajaki Pergelaran Film Cannes, Yulia berterus terang senantiasa padat jadwal” jualan” film di Marché du Film nama lain pasar film di pergelaran itu. Peluang menyaksikan film di pergelaran juga terbatas. Dengan jadi hakim, Yulia akan dapat menyaksikan banyak film.” Aku jadi dapat menyaksikan 2 kali bekuk,” ucapnya.
Yulia berambisi keterlibatannya selaku badan hakim dapat bawa khasiat untuk bioskop Indonesia. Menteri Kultur Fadli Zon juga berambisi kesertaan para sineas di Cannes bisa merepresentasikan adat Indonesia ke bumi.
Yulia bukan salah satunya delegasi Indonesia di Pergelaran Film Cannes tahun ini. Terdapat beberapa aktivis film serta kepala karangan film yang hendak menjajaki Marché du Film. Sebagian di antara lain merupakan Reza Rahadian( film Pangku), Christine Juri( The Mourning Journey), serta Razka Robby Ertanto yang hendak menyampaikan cetak biru film pertanyaan biduan seriosa Rose Pandanwangi.
Saat sebelum Yulia, bintang film Christine Juri sempat jadi salah satu hakim Pergelaran Film Cannes 2002. Christine menjuri bersama Michelle Yeoh yang menyabet Piala Oscar pada 2023, Sharon Stone, serta pimpinan hakim David Lynch.
Di balik layar bioskop yang hitam, cuma cahaya- cahaya dari proyektor yang berjoget- joget di bilik. Di sanalah, bersandar seseorang produser wanita dengan cahaya mata penuh perasaan—Yulia Evina Bhara. Hari itu bukan hari awal beliau melihat hasil kerjanya tayang di layar luas, tetapi malah hari itu hatinya terasa sangat gaduh. Campur aduk. Antara besar hati, khawatir, senang, takut, sampai ragu.
Yulia merupakan julukan yang mulai bersahabat terdengar di golongan penikmat film bebas Indonesia. Beliau bukan cuma seseorang produser, namun seseorang pemimpi yang tidak ragu menyingsingkan tangan, menantang sistem, serta meletakkan sepenuh batin pada narasi- narasi yang mau beliau sampaikan pada bumi. Tetapi jadi wanita yang mengutip ketetapan di balik layar tidaklah ekspedisi yang tenang- tenang saja. Tiap senyum kesuksesan senantiasa berdampingan dengan air mata peperangan.
Hari itu, film terkini yang beliau produseri terkini saja berakhir tayang di suatu pergelaran global. Ruang bioskop belum seluruhnya jelas, tetapi tepuk tangan sudah memuat hawa. Banyak orang berdiri. Tetapi Yulia malah senantiasa bersandar. Matanya berkilauan. Bukan sebab besar hati semata, melainkan sebab sepanjang cara pembuatan film itu, hatinya lalu dicoba dalam ribuan arah.
Di balik layar, beliau wajib berjuang memadukan visi sutradara serta pengarang skrip yang kadangkala tidak searah. Beliau wajib mengalami titik berat patron yang menuntut narasi lebih” pasar”, sedangkan dirinya mau menjaga kejujuran deskripsi. Belum lagi pergolakan hati kala satu untuk satu badan kerabat kerja wajib ditukar sebab bentrokan ataupun kesusahan. Perasaan itu tidak dapat dipaparkan dengan satu kata—semua terasa campur aduk: kegagalan, cinta, yakin, marah, letih, tetapi pula cinta yang ikhlas pada film itu sendiri.
Yulia sempat mengatakan,“ Film merupakan perpanjangan perasaan aku. Bukan cuma mengenai narasi di layar, tetapi pula mengenai manusia- manusia di baliknya.” Hingga tidak bingung bila tiap ketetapan penciptaan senantiasa membawanya pada perenungan yang dalam. Apalagi, kerap kali beliau meratap seorang diri di tengah malam sebab bimbang wajib memilah jalur yang mana—melanjutkan dengan efek ataupun berserah dengan nyaman.
Salah satu momen sangat penuh emosi terjalin dikala salah satu aktor penting hadapi musibah serta tidak dapat syuting sepanjang berminggu- minggu. Agenda berhamburan. Anggaran membesar. Titik berat dari penanam modal juga merajalela. Yulia mengurung diri 2 hari penuh. Beliau hampir berserah. Tetapi suatu catatan pendek dari si bintang film mengganti segalanya:“ Saya ketahui film ini berarti untukmu. Buat kita seluruh. Janganlah hentikan.”
Catatan itu bagaikan bercahaya api kecil yang membakar balik antusiasnya. Yulia balik bangun. Beliau atur balik segalanya. Apalagi beliau turun langsung menata posisi, menata santapan kerabat kerja, sampai meredakan batin yang mulai goyah. Tidak hirau beliau diucap sangat perfeksionis ataupun sangat keras—karena untuk Yulia, film bukan cuma produk. Itu merupakan peninggalan rasa.
Kala kesimpulannya film itu berakhir serta tersaring jadi salah satu pencalonan pergelaran global, Yulia meratap. Tetapi bukan sebab aplaus. Beliau meratap sebab ingat seluruh cedera yang wajib beliau tempuh. Ingat seluruh kawan yang yakin padanya. Ingat seluruh malam tanpa tidur. Ingat seluruh cinta yang beliau tumpahkan di balik skrip, kostum, serta perbincangan.
Perasaan Yulia bukan cuma mengenai satu titik senang. Beliau merupakan mozaik. Terdapat rasa bersalah sebab sempat membentak kerabat kerja dikala titik berat besar. Terdapat rasa cinta sebab banyak yang berkenan bertugas di dasar budget sebab yakin pada visinya. Terdapat rasa marah sebab sistem perfilman Indonesia sedang berat sisi. Tetapi di atas segalanya, terdapat rasa syukur—karena beliau ketahui, walaupun jalannya berliku, beliau senantiasa memilah jalur yang betul buat hatinya.
Campur aduk perasaannya melambung kala beliau wajib berdialog di depan khalayak, menggantikan filmnya di pentas apresiasi. Tangannya bergetar. Suaranya luang tersendat. Tetapi beliau senantiasa berjalan ke podium, berdiri berdiri, serta mengatakan,“ Ini bukan cuma mengenai aku. Ini mengenai tiap mimpi yang sempat dikecilkan, tiap suara yang mau didengar, tiap narasi yang kita memiliki tetapi khawatir kita ambil ke sinar. Ini mengenai kita seluruh. Dapat kasih telah yakin.”
Tepuk tangan balik bergaung. Tetapi Yulia cuma membungkuk. Hatinya sedang riuh. Perasaannya senantiasa campur aduk. Tetapi kali ini, beliau ketahui, dalam kekalutan itu, terdapat satu perihal yang tentu: beliau tidak sendiri. Terdapat komunitas, terdapat regu, terdapat cinta.
Serta seperti itu daya Yulia. Beliau tidak wajib senantiasa kuat. Beliau tidak wajib senantiasa percaya. Tetapi beliau senantiasa hadir—dengan seluruh perasaan yang tidak sempurna, tetapi malah membuat tiap filmnya terasa kemanusiaan.
Penutup:
Yulia Evina Bhara bukan cuma seseorang produser. Beliau merupakan pengembara rasa. Tiap film yang lahir dari tangannya merupakan bagian dari campur aduk perasaannya sendiri. Serta bisa jadi, malah sebab seperti itu, film- filmnya terasa hidup. Sebab di situ terdapat cinta, cedera, serta kegagahan buat senantiasa berjalan walaupun batin penuh gemuruh.
Post Comment