Puisi- puisi Alexander Aur

Puisi- puisi Alexander Aur

Puisi- puisi Alexander Aur – Alexander Aur, lahir Wailolong, Kedang, Lembata, NTT. Samesta Parayasa, Dusun Lumpang, Parung Jauh, Bogor.

Angin melewat di sela- sela daun- daun srikaya. Mendesis. Sinar mentari petang melukis bayangan daun srikaya berwajahmu pada bilik rumah. Angin mendesis lagi di sela- sela daun- daun srikaya. Melambung. Terus menjadi melambung: Peluk saya biar kita silih mencegah. Daun- daun srikaya berwajahmu tertakik pada bilik rumah. Memanggilku dengan desing yang melambung: Peluk saya biar kita silih mencegah. Desisku kepadamu: buat ekspedisi kita yang jauh serta lama ke era depan.

Dekap Saya biar Kita Silih Mencegah( 2)

” Bila mau berjalan kilat, berjalanlah sendiri. Bila mau berjalan jauh, berjalanlah bersama.”* 2 anak didik berjalan ke Emaus sehabis pergolakan sosial serta kematian si Guru. Rasa khawatir sedang menghujam jiwa- raga. Sebaliknya ekspedisi sedang jauh serta jauh. Kompleks. Curam. Letih. Gemetar. Namun: Peluk saya biar kita silih mencegah: sebab kita tidak mau berjalan individual. Sebab kita akan mempelajari bersama- sama ekspedisi jauh ini dengan jiwa- raga yang tetap menghijau, berhasil rimbun, ranum serta segar.

Dekap Saya biar Kita Silih Mencegah( 3)

Di pucuk busut kunjungan ini, rapal- rapal berkah yang mengalir kencang dari kandungan sukma kita merupakan penyerahan diri sangat jujur pada Ia. Ia yang tetap meneteskan kabut sangat sepi ke dalam danau hati anda serta saya. Peluk saya biar kita silih mencegah merupakan kabut yang menetes dari rahim- Nya, selaku puisi ekspedisi jauh menjemput gairah tenaga laut selatan, supaya kita menempuh pelayaran jauh dengan sabar, loyal, niat, berani, serta bermuara pada teluk sangat reda: rumah kita yang berperabot kasih- sayang, rumah tempat kita kembali bersama.

Dekap Saya biar Kita Silih Mencegah( 4)

Istirahatlah sejenak pada lenganku serta bentangkanlah batinmu lebar- lebar supaya angin laut selatan ini melepaskan debu- debu era dulu sekali yang sering memedihkan sukmamu, dengan hembusan cinta sangat hangat ke dalam jiwa- raga kita. Mentari petang yang turun di kaki langit selatan ini, mempertunjukkan rasa cinta sangat reda alhasil luka- luka era dulu sekali yang meletihkan jiwamu bertukar peluk saya biar kita silih mencegah serta kita hendak berjalan lagi dengan gembira tanpa duka.

Dekap Saya biar Kita Silih Mencegah( 5)

Istirahatlah pada punggungku selama ekspedisi ini sebab tidur kamu merupakan puisi romantis peluk saya biar kita silih mencegah. Malam yang turun di tepi laut selatan menemani kita selama ekspedisi mengarah kota dengan rasa cinta sangat agung. Kota ini merekam dalam rahimnya cinta sangat romantis dua- anak orang, yang sudah menempuh ekspedisi jauh serta jauh dengan sabar, berani, loyal, serta niat. Datang di kota ini, kota yang tengah menenun puisi peluk saya biar kita silih mencegah pada jiwa- raga 2 anak orang, yang berkomitmen tetap silih menopang buat perjalanan- perjalanan jauh serta pelayaran- pelayaran jauh serta kompleks pada musim- musim yang hendak tiba.

Julukan Alexander Aur bisa jadi belum sefamiliar Chairil Anwar ataupun Sapardi Djoko Damono di golongan warga besar. Tetapi di bundaran kesusastraan serta komunitas syair Indonesia kontemporer, Aur bertambah diperhitungkan selaku penyair belia dengan energi pikat tertentu. Puisinya runcing, kontemplatif, serta kadangkala menggoda buat dibaca kesekian, seakan mengundang pembacanya buat turut terperangkap dalam labirin arti serta metafora.

Aur, yang lahir di Gelinggang pada 1991, diketahui besar lewat program digital—khususnya Instagram serta web kesusastraan. Keberaniannya meracik diksi dengan tema- tema eksistensial, spiritualitas urban, serta cedera beramai- ramai angkatan belia menghasilkan karya- karyanya gampang memegang golongan pembaca rute umur.

Dini Ekspedisi Sastra

Alexander Aur mulai menulis syair semenjak bersandar di kursi SMA. Tetapi perjalanannya selaku penyair mulai diketahui dengan cara besar dikala memenangkan adu syair tingkatan nasional pada 2014. Ciptaannya setelah itu dilansir di bermacam alat semacam Kompas, Tempo, Harian Persamaan bunyi, serta sebagian antologi syair bersama. Salah satu syair yang membuat namanya mencuat merupakan“ Suara- Suara dari Dalam Batu,” yang sukses masuk dalam 10 syair terbaik tipe Badan Keelokan Jakarta tahun 2017.

Aur sendiri berterus terang kalau beliau termotivasi dari bermacam penyair bumi semacam Pablo Neruda, Sylvia Plath, sampai W. S. Rendra. Tetapi dalam tiap baitnya, terdapat suara perorangan yang tidak gampang diduga. Beliau kerap mengombinasikan gradasi mitologi Timur dengan kenyataan sosial kontemporer. Banyak puisinya menyinggung tema spiritualitas yang hancur, cinta yang tidak romantis, serta sepi yang menyerang orang urban.

Membaca Syair Alexander Aur

Puisi- puisi Alexander Aur bukan jenis syair yang gampang dimengerti dalam sekali baca. Dalam antologi pertamanya yang berjudul Basilika Hujan( 2019), beliau melukiskan kota selaku entitas hidup, penuh kesunyian yang tidak sempat betul- betul bungkam. Salah satu puisinya yang populer dari novel ini bertajuk“ Litani Lampu Jalur”, yang bersuara:

“ Saya berjalan semacam berkah yang patah di tengah malam

Menapaki jejak lampu yang tidak sempat menoleh

Kota ini, Tuhan—kau titipkan pelukmu di kabel- kabel listrik

serta kita menyebutnya impian.”

Syair itu dikira oleh banyak komentator selaku ikon perlawanan hati kepada ketidakberdayaan. Beliau mengenakan metafora keimanan, tetapi dalam bungkusan kenyataan duniawi. Alexander Aur seolah lalu bertanya kehadiran ilahi di tengah kehampaan orang modern.

Antologi keduanya, Kandungan Batu( 2022), lebih suram serta perorangan. Dalam novel ini, Alexander banyak menorehkan syair mengenai gelisah, kehabisan, serta obrolan abstrak dengan tokoh- tokoh asal usul serta delusif. Beliau tidak enggan menulis syair dengan bentuk tidak konvensional—ada syair berupa obrolan, catatan berbelanja, apalagi e- mail yang tidak sempat terkirim.

Pendapat serta Kritik Sastra

Sebagian pengamat kesusastraan mengatakan style Alexander Aur selaku“ neo- eksistensialis tropis”. Komentator kesusastraan dari Universitas Indonesia, Profesor. Renny Alamsyah, memperhitungkan kalau puisi- puisi Aur“ memecahkan metode kita membaca realitas serta menata balik ikatan kita dengan bahasa.” Baginya, Aur tidak cuma menulis syair, melainkan membuat ruang refleksi dalam wujud tutur.

Tetapi tidak seluruh kritik positif. Terdapat pula yang mengatakan puisinya sangat abstrak serta sangat banyak main dengan ketaksaan, alhasil memudarkan arti yang mau di informasikan.“ Sebagian puisinya sangat megah, semacam terencana terbuat angkat kaki supaya nampak mendalam,” ucap salah satu pengedit kesusastraan yang sungkan diucap namanya.

Tetapi Alexander tidak menjawab kritikan itu dengan cara langsung. Dalam suatu tanya jawab dengan majalah Langit Kesusastraan, beliau mengatakan,“ Syair bukan pertanyaan nyata ataupun tidak nyata. Beliau semacam laut. Anda dapat berdiri di pantainya ataupun menyelam ke dalamnya—apa juga yang anda seleksi, anda senantiasa berair.”

Digitalisasi serta Ruang Terkini Puisi

Salah satu daya Alexander Aur merupakan kemampuannya membiasakan diri dengan masa digital. Beliau aktif membacakan puisinya di saluran YouTube serta kerap bekerja sama dengan musisi, kreator film pendek, apalagi kreator permainan. Di Instagram, beliau teratur unggah syair pendek yang kerap jadi viral, paling utama di golongan anak muda serta mahasiswa.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *