Roman Bagus Son Heung – min Terpahat di San Mames

Roman Bagus Son Heung - min Terpahat di San Mames

Roman Bagus Son Heung- min Terpahat di San Mames – Sebanyak 625 peperangan wajib dijalani Son Heung – min buat memenangi titel pemenang.

Kala penengah asal Jerman, Felix Zwayer, gali77 meniupkan peluit akhir beradu akhir Aliansi Europa antara Tottenham Hotspur serta Manchester United, Kamis( 22 atau 5 atau 2025) dini hari Wib, di Stadion San Mames, Spanyol, Son Heung- min terduduk dengan mengepalkan kedua tangan dan menundukkan kepalanya. Satu per satu pemeran Spurs, diawali gelandang Rodrigo Bentancur, mendatangi kapten mereka buat memperingati titel pemenang Eropa.

Son merupakan pemeran penting sangat tua yang terdapat di skuad Spurs masa ini. Tidak terdapat lagi pemain- pemain tua Sang Lili Putih yang pula jadi teman- temannya, semacam Harry Kane, Eric Dier, serta Hugo Lloris. Mereka sudah berangkat dari London utara buat merengkuh beker pemenang di aliansi berlainan.

Lloris sudah merasakan titel Piala Amerika Sindikat bersama Los Angeles FC, tahun kemudian. Sedangkan itu, Kane serta Dier berfungsi berarti untuk Bayern Muenchen buat beker pemenang Aliansi Jerman pada masa ini.

Beliau jadi wajah lama yang tertinggal di masa Ange Postecoglou. Sepanjang satu dasawarsa di Spurs, Son sudah merasakan pelatih- pelatih kategori bumi, misalnya Jose Mourinho serta Antonio Conte. Hendak namun, beker pemenang tidak pula tiba ke Stadion Tottenham Hotspur.

Masa ini Son sejatinya tidak membagikan banyak partisipasi walaupun sedang sanggup memperkenalkan dua kali digit berhasil serta asis. Persisnya, beliau beramal 11 berhasil serta 12 asis. Jumlah itu menyusut ekstrem dari 17 berhasil yang dihasilkannya masa kemudian.

Penyusutan berhasil itu tidak bebas dari permasalahan luka yang mendatangi. Hamstring, akar pukang, serta kaki jadi 3 dilema raga yang menimbulkan Son melupakan 17 perlombaan Spurs. Jumlah itu belum tercantum laga- laga yang dilewati dengan cuma bersandar di kursi persediaan sebab situasi raga yang belum lumayan fit.

Di tengah situasi yang tidak sangat bagus, pasti titel Aliansi Europa jadi jawaban setimpal dari perjuangannya melawan rasa sakit serta beban tidak dapat menolong timnya. Son jadi kapten Spurs yang menumbangkan” sumpah” Spurs nirgelar dalam 17 tahun di seluruh pertandingan ataupun 41 tahun di kancah Eropa.

Isyarat penuh emosi Son di akhir peperangan akhir itu pula setimpal dengan hari- hari penuh kegiatan keras yang dilaluinya semenjak memindahkan dari Bayer Levekusen ke Spurs pada masa panas 2015. Beliau memerlukan menempuh 454 peperangan berseragam” Sang Lili Putih” sampai kesimpulannya dapat mengangkut beker pemenang maksimal di hawa.

” Aku merasakan titik berat. Aku amat membutuhkan( beker) ini. 7 hari terakhir, aku mengidamkan game ini tiap malam. Kesimpulannya, momen ini terjalin serta aku dapat tidur lelap saat ini,” cakap Son sambil mesem pada TNT Sports di hadapan hikayat Spurs, Gareth Bale, serta bekas bek MU, Rio Ferdinand.

” Sepanjang 17 tahun tidak terdapat yang dapat melaksanakan( pemenang) itu. Jadi, kita merupakan pemeran luar lazim bisa jadi dapat diucap hikayat klub. Ini yang senantiasa aku impikan. Aku merupakan orang sangat senang di bumi dikala ini,” lanjut Son yang masuk selaku pengganti Richarlison di menit ke- 67.

Kala dijamah dirinya pantas diucap hikayat Spurs, Son menanggapi sambil mesem semringah.” Dapat tuturkan aku hikayat saat ini. Kenapa tidak? Paling tidak buat hari ini”.

Sangat dicintai

Dalam 10 tahun di Spurs, Son merupakan pemeran yang tidak mempunyai pembenci. Mulai dari CEO Spurs Daniel Levy sampai para partisan amat menyayangi kapten regu nasional Korea Selatan itu.

Kanak- kanak pemeran Spurs, semacam James Maddison serta teman- temannya, Kane, memanggil Son dengan gelar” Uncle Sonny”. Kedekatan Son dengan putra- putri kawan seregunya tidak terbantahkan. Beliau sering menghabiskan durasi buat main dengan kanak- kanak teman- temannya itu.

Son merupakan kepribadian yang sangat dicintai di sepak bola. Seseorang abdi luar lazim buat klub Tottenham,” cakap Bale.

Son merupakan peraih 3 titel Pemeran Terbaik Spurs. Beliau menyabet pula beker penerbit pengecap berhasil paling banyak Aliansi Inggris 2021- 2022. Tidak ketingalan, FIFA Puskas Award yang mengaruniai berhasil terbaik disabet pemeran berumur 32 tahun itu pada 2020.

Sehabis mencapai beker awal dalam karir profesionalnya yang sudah berjalan sepanjang 15 tahun serta menempuh 625 perlombaan, Son juga telah terus menjadi pantas diucap selaku salah satu hikayat hidup sepak bola Korea Selatan. Beliau layak dikira pesepak bola terbaik Korsel di era ke- 21.

Son menjajaki jejak 3 pendahulunya, ialah Cha Bum- kun, Kim Dong- jin, serta Lee Ho, yang sempat pemenang Piala UEFA ataupun Aliansi Europa. Cha memenangi beker itu 2 kali tiap- tiap bersama Einctracht Frankfurt di versi 1979- 1980 dan Bayer Leverkusen pada 1987- 1988. Ada pula Kim serta Lee pemenang bersama Kulminasi Saint- Petersburg pada masa 2007- 2008.

Berlainan dengan 3 hikayat Korsel itu, Son mengangkut beker dengan sebutan kapten Spurs. Tidak bimbang, beliau ialah kapten Spurs non- Inggris awal yang mengangkut beker Eropa.

Administrator Ange Postecoglou membenarkan kalau titel pemenang Aliansi Europa merupakan ikhtiarnya buat menolong Son, salah satu hikayat hidup Spurs, buat merasakan indahnya jadi pemenang. Postecoglou juga jadi ahli siasat Asia awal yang menolong klub Inggris pemenang pertandingan kontinental.

Aku membutuhkan adanya hari semacam ini buat Sonny. Perihal ini belum terjalin lebih dahulu,” tutur Postecoglou dikutip BBC.

” Di luar ruang ubah( Stadion Tottenham Hotspur) terdapat lukisan tim- tim pemenang, serta aku tuturkan pada Sonny,’ kita wajib memuat fotomu di situ’,” tambahnya.

Sehabis meratap di akhir akhir Aliansi Champions 2019 serta Piala Aliansi Inggris 2020, senyum kesimpulannya merekah buat Son di Bilbao. Chukahamnida, kapten Son!

Dalam lanskap sepak bola modern yang penuh dengan kejutan serta narasi heroik, malam kemarin jadi saksi gagu terciptanya suatu roman bagus dari seseorang ahli asal Korea Selatan, Son Heung- min. Stadion mewah San Mames, markas dari Athletic Bilbao, jadi pentas untuk salah satu pementasan orang sangat menawan dalam asal usul sepak bola antarklub Eropa. Son bukan cuma main bagus– beliau memahat hikayat.

Beradu Berarti, Momen Epik

Peperangan sesi semifinal Aliansi Europa antara Athletic Bilbao serta Tottenham Hotspur sejatinya sudah dinanti selaku hantaman 2 filosofi sepak bola yang kontras. Bilbao, dengan daya lokal serta antusias Basque yang bergelora, mengalami Tottenham yang saat ini bertumpu pada kecekatan serta metode dari para bintang Asia serta Eropa.

Tetapi, pancaran penting malam itu jatuh pada seseorang pemeran– Son Heung- min. Penyerbu Korea Selatan ini mencuri atensi semenjak menit awal. Dengan kecekatan, kenyamanan, serta pemastian besar, beliau tampak berkuasa serta jadi pembeda dalam peperangan yang berjalan kencang itu.

Berhasil Pembuka: Melodi dari Timur

Pada menit ke- 27, Son membuka angka dengan suatu berhasil bagus hasil solo run dari bagian kiri. Beliau mengelabui 2 bek Bilbao dengan gesekan kilat, kemudian membebaskan tembakan membengkok yang tidak sanggup dijangkau kiper Unai Simón. Berhasil itu tiba- tiba mengunci mulut San Mames serta mencetuskan kebahagiaan dari pihak Spurs.

Son tidak cuma membuktikan mutu orang, namun pula intensitas taktis yang luar lazim. Beliau mengerti bila wajib beranjak tanpa bola, bila wajib memencet rival, serta bila jadi inisiator serbuan. Pergerakannya jadi mimpi kurang baik untuk pertahanan Bilbao selama peperangan.

Simfoni di Tengah Tekanan

Athletic Bilbao pasti tidak bermukim bungkam. Melalui serbuan balik kilat serta antusias juang yang besar, mereka luang membandingkan peran di menit ke- 41 melalui Iñaki Williams. San Mames balik bergemuruh. Tetapi malam itu bukan mengenai kemenangan tuan rumah, melainkan mengenai gimana suatu hikayat ditulis dari negara melintas lautan.

Di sesi kedua, Son balik membuktikan kelasnya. Menit ke- 63, beliau menghasilkan assist buat berhasil kedua Tottenham. Kali ini, beliau mengendalikan bola di tengah titik berat, memutar tubuh, kemudian mengirim korban inovasi cermat ke Richarlison yang sukses mengonversi jadi berhasil. Angka 2- 1 buat Spurs, serta suasana berganti mengencang.

Akhir yang Manis serta Aplaus yang Tulus

Tetapi pucuk dari cerita ini tiba di menit ke- 88. Dikala para pemeran mulai keletihan serta keseriusan menyusut, Son senantiasa terletak di tingkat terbaik. Beliau balik mengecap berhasil, kali ini melalui suatu campuran satu- dua kilat di kotak denda, saat sebelum dengan hening menaklukkan Unai Simón.

Berhasil ketiga Tottenham, serta berhasil kedua Son malam itu, disambut sepi oleh para pendukung Bilbao. Tetapi setelah itu, suatu panorama alam sangat jarang terjalin. Beberapa partisan tuan rumah berdiri serta berikan tepuk tangan. Tidak banyak pemeran rival yang menemukan hidmat sejenis itu di San Mames– stadion yang diketahui keras kepada kompetitor.

Son digantikan pada menit ke- 90+1 serta berjalan pergi alun- alun dengan senyum penuh iba, disambut dekapan hangat dari instruktur Ange Postecoglou serta teman- temannya. Sedangkan dari tribun, aplaus lalu bergaung, mendampingi langkahnya pergi alun- alun– semacam damai segan pada artis yang sudah menangani adikarya.

Statistik Berdialog, Tetapi Sihir Tidak Terukur

Dengan cara statistik, Son mencatatkan 2 berhasil, 1 assist, 4 dribel berhasil, serta 5 kesempatan terwujud. Beliau pula jadi pemeran dengan ketepatan alihan paling tinggi di lini depan. Tetapi statistik cuma membekuk beberapa dari cerita malam itu. Yang lebih berarti merupakan metode beliau mempengaruhi tempo perlombaan, mengetuai kawan setim, serta menaklukkan suasana yang tidak berkawan.

Son Heung- min bukan cuma mengecap berhasil– beliau menghasilkan pengalaman. Beliau membuat khalayak San Mames, yang diketahui ekstrem serta keras, membenarkan keelokan dari si pengembara Asia yang menjelma jadi hikayat Eropa.

Respon Bumi Sepak Bola

Seusai perlombaan, alat sosial dibanjiri aplaus. Hikayat sepak bola semacam Gary Lineker, Rio Ferdinand, serta Park Ji- sung menyanjung penampilan Son yang diucap selaku“ masterclass dalam sepak bola modern.” Apalagi instruktur Bilbao, Ernesto Valverde, menyebutnya selaku“ pemeran yang bawa seni dalam sepak bola.”

“ Ia main semacam lagi berajojing. Kamu dapat paham kenapa banyak yang menyebutnya selaku pemeran sangat elok di generasinya,” ucap Valverde dalam rapat pers pasca- laga.

Jejak Asal usul yang Tertinggal

Dengan kemenangan 3- 1 atas Bilbao, Tottenham menginjakkan satu kaki di akhir Aliansi Europa. Tetapi buat Son Heung- min, malam ini jauh lebih dari semata- mata karcis ke akhir. Ini merupakan malam kala beliau mencocokkan namanya dalam asal usul San Mames– tempat yang umumnya menaruh hikayat lokal, saat ini mencatatkan julukan seseorang anak dari Chuncheon, Korea Selatan.

Son sudah membuktikan kalau sepak bola tidak memahami batasan adat, suku bangsa, ataupun geografi. Beliau memadukan seluruhnya dalam satu bahasa umum: keelokan game.

Akhir Kata

Malam di San Mames jadi roman bagus mengenai intensitas, kemampuan, serta cinta kepada sepak bola. Son Heung- min tidak cuma memenangkan perlombaan, namun pula batin banyak orang. Serta kala malam terus menjadi larut di Bilbao, narasi mengenai si kapten Korea itu hendak senantiasa hidup– dikisahkan balik oleh para saksi yang melihatnya, serta dikenang oleh asal usul yang saat ini tidak hendak sempat melupakannya.

Post Comment